A. Penting Mempelajari Ilmu Dan Beramal Dengan Sanad yang Shahih
Allah SWT memuliakan umat Islam dengan beberapa keistimewaan yang
besar yang tidak diberi kepada umat manusia selain mereka.Dia antara
keistimewaan umat Islam akhir zaman ini, Allah SWT memberi jaminan untuk
menjaga mereka (umat Islam) dari “berhimpun” dalam kesesatan.Allah SWT
memelihara umat Islam dari kesesatan dengan memelihara institusi ulama
mereka yang terlibat dalam menjaga sumber agama Islam dan
pemahaman-pemahaman yang shahih. Dengan demikian, Allah SWT menjaga
ajaran Islam dari berbagai aspeknya, baik dari sudut sumbernya, cara
memahami sumber secara shahih, maupun pemahaman yang shahih terhadap
sumber-sumber tersebut melalui para ulama yang disebut dalam al-Quran
sebagaiAdz-dzikir, yang perlu dirujuk oleh orang-orang awam.
“Isnad itu sebagian dari agama. Jika tidak karena isnad, setiap orang akan berkata apa saja yang dikehendakinya.”
Keistimewaan in bertolak dari suatu hal yang mendasar, yaitu tradisi
sanad atau isnad (penyandaran sanad) atau sandaran dalam bidang
ilmu-ilmu agama. Sesuai dengan maksud hadits Nabi shalallahu alaihi wasssalam
yang menyebutkan “Ulama adalah pewaris para nabi…”, sudah tentulah ilmu
nabawi itu diterima oleh para ulama secara “pewarisan”. Dalam konsep
“pewarisan” dalam tradisi pembelajaran ilmu agama inilah, terwujud
konsep atau tradisi “sanad” atau sandaran.
Abu Ali Al-Jiyani berkata, “Allah SWT mengkhususkan umat
ini dengan tiga hal yang tidak pernah diberikan kepada umat sebelumnya:
sanad, ansab (nasab-nasab), dan i’rab (penguraian kata dari segi
kedudukannya).”
Abu Hatim Ar-Razi berkata, “Tidak ada satu umat pun, sejak Allah
menciptakan Adam, para ahli amanah, yang menjaga berita-berita para
rasul, kecuali pada umat ini.”
Melalui jalur sanad, dimungkinkanlah penelitian terhadap kebenaran
hadits-hadits dan berita-berita serta mengenali para perawi. Pencari
hadits dapat mengetahui derajat (kualitas) hadits, mana yang shahih dan
mana yang lemah. Dengan sanad pula, sunnah dijaga dan dipelihara dari
pengelabuan, penyimpangan, pemalsuan, penambahan, dan pengurangan.
Dengan sanad juga masyarakat menyadari kedudukan sunnah dan betapa
pentingnya memberikan perhatian terhadapnya, yang ia ditetapkan dengan
jalur-jalur kritik dan tahqiq (analisis) yang demikian
mendetail, yang belum pernah dikenal manusia ada sepertinya sepanjang
sejarah. Dengan begitu, klaim orang-orang yang bathil dan senang membuat
keraguan umat dapat ditolak, dan syubhat-syubhat yang mereka lontarkan
seputar keshahihan hadits dapat dimentahkan.
Perhatian yang demikian besar terhadap sanad menampakkan kepada kita
urgensi (pentingnya) dan pengaruhnya dalam ilmu hadits, yaitu melalui
beragam aspek. Di antaranya, sanad merupakan salah satu karakteristik
tersendiri dari umat ini, yang tidak ada satu umat manusia pun di muka
bumi ini memiliki keistimewaan seperti ini.Tidak pernah ada riwayat dari
salah satu umat terdahulu mengenai perhatian mereka terhadap para
perawi berita dan hadits-hadits para nabi mereka sebagaimana yang
dikenal dari umat ini.
Dalam konteks hadits, sanad ialah rantai penutur atau perawi
(periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur, mulai dari orang
yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya atau kitab hadits (mukharrij) hingga Rasulullah shalallahu alaihi wasalam. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat.Contohnya, Al-Bukhari-Musaddad-Yahya-Syu’bah-Qatadah-Anas-Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasalam. Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur atau perawi dalam lapisan sanadnya.
Imam Ibnu Sirin berkata, “Ilmu itu adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu (ilmu agama tersebut).”
Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Imam Al-Auza’I bahwasanya ia berkata,
“Tidaklah hilang ilmu (agama) melainkan dengan hilangnya sanad-sanad
(ilmu agama tersebut).”
Mengapa ilmu akan lenyap jika tradisi sanad ini tidak dipelihara? Di
antara sebabnya, akan muncul golongan yang tidak mempunyai latar
belakang keilmuan dalam bidang agama yang memadai berdiri di hadapan
masyarakat umum lalu berbicara dalam urusan agama tanpa kelayakan.
Mereka berargumen bahwa, karena semua orang beragama, mereka kataka
semua agama sama, semua orang berhak berbicara dalam urusan agama. Dasar
liberal seperti ini jelas tertolak dalam ukuran keilmuan Islam, yang
menilai latar belakang keilmuan seseorang melalui tradisi sanad ini.
Oleh karena itulah, dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Imam
Muslim meriwayatkan dari Imam Abdullah bin Al Mubarak, yang berkata,
“Isnad itu sebagian dari agama. Jika tidak karena isnad, setiap orang
akan berkata apa saja yang dikehendakinya (dalam urusan agama, tanpa
ilmu mendalam tentangnya).”
Maka jelaslah, tradisi menyusun sanad-sanad keilmuan serta ijazah
keilmuan, baik secara umum maupun khusus, baik ijazah riwayah maupun
dirayah atau kedua-duanya, ijazah tadris wa nasyr (izin untuk
mengajar dan sebagainya), dan sebagainya, adalah untuk menjaga tradisi
amalan para ulama as-shalih terdahulu dan dalam masa yang sama
menjelaskan latar belakang keilmuan mereka. Bahkan, tradisi tersebut
adalah tradisi amalan para ulama mu’tabar yang tidak dapat
diperselisihkan lagi, karena ia terpelihara dari masa ke masa.
Ukuran kelayakan keilmuan yang sebenarnya dalam neraca pembelajaran
dan pengajaran ilmu-ilmu agama yang murni bukanlah pada ukuran akademis
modern, yang merupakan acuan dan ukuran tradisi Barat, tetapi ukuran
sebenarnya adalah pada sandaran keilmuan seseorang yang mengajar ilmu
agama, baik sanad ilmiy, ijazah tadris, maupun yang lainnya, yang
menjadi asal rujukan.
Banyak sekali berita dan perkataan yang datang dari imam (tokoh-tokoh
ulama) mengenai pentingnya sanad dan anjuran menjaganya. Bahkan mereka
menjadikannya sebagai ibadah dan bagian dari din. Abdullah bin
Al-Mubarak berkata, “Isnad merupakan bagian dari agama ini. Andai
kata bukan karena isnad, pastilah orang akan berkata semau-maunya. Bila
dikatakan kepadanya ‘Siapa yang menceritakan kepadamu?’, ia diam (yakni
diam kebingungan), tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sebab ia
tidak memiliki sanad yang dengannya ia dapat mengenali keshahihan atau
kelemahan suatu hadits.”
Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Sanad adalah senjata seorang mukmin. Bila ia tidak memiliki senjata, dengan apa ia akan berperang?”
Syu’bah berkata, “Setiap hadits yang tidak terdapat di dalamnya
kalimat haddatsana (telah mengatakan kepada kami) dan akhbarana (telah
mengabarkan kepada kami), ia seperti seorang laki-laki di tanah lapang
bersama seekor keledai yang tidak memiliki tali kekang.”
Tokoh terkemuka, Al-Auza’I, berkata,”
Tidaklah hilang ilmu melainkan karena hilangnya sanad.” Sedangkan di antara ulama masa belakangan yang sangat banyak mengumpulkan sanad adalah
Syaikh Yasin Al-Fadani, yang digelari “Musnid Ad-Dunya”
karena begitu banyak sanadnya. Sebagian ulama mengumpamakan hadits
tanpa sanad itu sebagai sebuah rumah yang tanpa atap dan tiang. Ini
terlihat dari untaian syair berikut:
Jika ilmu kehilangan sanad musnid, ia seperti rumah yang tidak beratap dan berpasak
Dalam syair diatas, yang dimaksud musnid adalah orang yang memberikan
sanad. Imam Asy-Syafi’i pernah berkata kepada Abu Ali bin Miqlas, “Kamu
ingin menghafal hadits (semata-mata) lalu serta merta menjadi seorang
faqih? Tidak sama sekali. Sangat tidak realistis.” Demikian dalam
Manaqib Imam Asy-Syafi’i yang disusun oleh Imam Al-Baihaqi.
Imam Al-Baihaqi menjelaskan ihwal perkataan ini bawasanya manfaat
menghafal hadits-hadits adalah pada mempelajari maknanya yang dikenali
sebagai at-tafaqquh. Kesibukan dalam menghafal hadits namun tidak
mendalami pemahaman tentang hadits yang dihafal itu tidak membuat
seseorang itu menjadi faqih sama sekali.
Karena itu, Imam Ahmad juga berkata,”Mengetahui makna
hadits dan menjadi faqih dalam hadits lebih aku sukai daripada
menghafalnya (tanpa memahaminya).”
Imam Al-A’masy berkata, “hadits yang disebutkan oleh para fuqaha
(dengan pemahamannya) lebih baik daripada hadits yang disebut oleh para
syaikh (tanpa pemahaman).” (Tadrib Ar-Rawi, oleh As-Suyuthi).
Sebagai akibat dari penegasan tuntutan diadakannya sanad, dan
demikian besar perhatian terhadapnya, kita mendapati bahwa kitab-kitab
hadits yang dikarang sejak paruh pertama dari abad ke-2 H telah
berkomitmen dengan hal itu. Buku-buku itu disebut dengan masanid (jamak
dari musnad), yaitu sebuah nama yang memiliki hubungan yang jelas dengan
masalah sanad. Di antara musnad-musnad yang paling termasyur adalah
Musnad Ma’mar bin Rasyid (152 H/768 M), Musnad ath-Thayalisi (204 H/819
M), Musnad al-Humaidi (219 H/833 M), Musnad Ahmad bin Hanbal (241 H/855
M), Musnad asy-Syafi’i (294 H/819 M).
Musnad-musnad tersebut merupakan pegangan pokok bagi para pengarang
yang datang setelah itu.Mereka merujuk kepadanya dan menjadikannya
sebagai sumber mereka.Semua ini menegaskan kepada kita betapa pentingnya
sanad dalam ilmu hadits dan betapa besar perhatian yang diberikan umat
kepadanya, serta betapa Allah menjaga agama ini dengannya dari upaya
menghilangkan dan mengubahnya. Hal ini sebagai realisasi dari janji
Allah SWT dalam menjaga adz-dzikir yang diturunkannya, sebagaimana
firman-Nya dalam surat Al-Hijr, ayat 9.
Mengenai dasar syari’at tentang sanad, di antaranya dapat kita lihat
pada riwayat berikut: Telah bercerita kepada kami Abu ‘Ashim Adh-Dhahhak
bin Makhlad, telah mengabarkan kepada kami Al-Awza’iy, telah bercerita
kepada kami Hassan bin ‘Athiyyah dari Abi Kabsyah dari ‘Abdullah bin
‘Amr bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Sampaikan dariku
sekalipun satu ayat dan kalian boleh ceritakan (apa yang kalian dengar)
dari Bani Israil dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta
atasku dengan sengaja, bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di
neraka.” (HR Bukhari 3202).
Hakikat makna hadits tersebut, kita hanya boleh menyampaikan ayat
yang diperoleh (didengar) dari guru-guru yang sebelumnya disampaikan
secara turun-temurun, sampai kepada lisan Rasulullah SAW.Kita tidak
diperkenankan menyampaikan akal pikiran kita semata.
Beliau juga bersabda,”Barang siapa menguraikan Al-Qura’an dengan akal
pikirannya sendiri dan merasa benar, sesungguhnya ia telah berbuat
kesalahan.” (HR Ahmad).
Konsep sanad tidak terbatas pada ilmu hadits. Memang benar, istilah
sanad digunakan secara meluas dalam bidang musthalah hadits. Namun,
tidak berarti konsep sanad tidak meluas dalam bidang-bidang ilmu agama
yang lain.
Oleh sebab itulah, hanya orang-orang yang jahil (baik sadar maupun
tidak) yang tidak melihat pentingnya sanad setelah terbukukannya
hadits-hadits shahih oleh para ulama hadits kurun kedua hingga kurun
keempat hijrah.Mereka menganggap, sanad sudah tidak relevan atau sudah
tidak lagi diperlukan setelah hadits-hadits itu dibukukan oleh para
ulama hadits, karena mereka membatasi konsep sanad pada ilmu hadits dari
sudut wilayah semata.
Sesungguhnya, dalam ilmu hadits pun, ada sudut dirayah yang masih
memerlukan sanad atau sandaran keilmuan, khususnya cara untuk memahami
hadits dan pemahaman shahih terhadap hadits-hadits tersebut.
Ilmu-ilmu agama, khususnya yang melibatkan sudut dirayah, juga sangat
memerlukan latar belakang keilmuan atau sandaran keilmuan bagi
seseorang yang berbicara tentang agama. Karena, tanpa berguru dengan
guru, seseorang tidak layak mengaku sebagai ahli ilmu atau ulama,
walaupun sudah membaca banyak kitab. Sebab para ulama salaf sendiri
mencela orang-orang yang berguru dengan lembaran-lembaran semata-mata
untuk berbicara tentang agama di hadapan manusia.
Persepsi tentang sanad yang sempit hanya lahir dari mereka yang
terlepas dari tradisi pembelajaran ilmu-ilmu agama yang murni
sebagaimana ia diamalkan oleh para ulama salaf dan khalaf sepanjang
zaman. Ketika memperbincangkan penggunaan istilah sanad dalam musthalah
hadits, itu hanya satu bagian dari konsep sanad dalam ilmu-ilmu agama
secara lebih luas, karena penggunaan konsep sanad atau “sandaran” memang
suatu praktek dalam sistem pembelajaran ilmu-ilmu agama secara
keseluruhan.
Imam Syafi’i ramimahullah mengatakan, “Tiada ilmu tanpa sanad.”
Sedangkan Al-Hafizh Al-Imam Ats-Tsauri mengatakan, “Penuntut ilmu tanpa
sanad bagaikan orang yang ingin naik kea tap rumah tanpa tangga.” Bahkan
Al-Imam Abu Yazid Al-Busthamiy mengatakan, “Barang siapa tidak memiliki
susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi, niscaya gurunya
adalah setan.”
Dengan demikian, sanad ilmu atau sanad guru sama pentingnya dengan
sanad hadits. Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber
perolehan matan atau redaksi hadits dari lisan Rasulullah, sedangkan
sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber
perolehan penjelasan, baik al-Qur’an maupun as-sunnah, dari lisan
Rasulullah.
Jadi, sanad keilmuan ini secara umum berarti latar belakang pengajian
ilmu agama seseorang yang bersambung dengan para ulama setiap generasi
sampai kepada generasi sahabat yang mengambil pemahaman agama yang
shahih dari Rasulullah SAW.
Oleh sebab itulah, meskipun pembukuan sumber-sumber agama sudah
selesai oleh para ulama hadits seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dan
lain-lain, untuk memahami sumber-sumber agama juga perlu merujuk kepada
para ulama (ahl adz-dzikir) yangmempunya sanad keilmuan yang
jelas.Jadi, para ulama yang dirujuk juga harus pernah mempelajari
pemahaman agama yang shahih, dari para ulama yang juga mempunyai sanad
keilmuan yang jelas.Begitulah bersambungnya silsilah ini sampai kepada
para ulama dari kalangan sahabat hingga kepada Rasulullah SAW. Ibn Umar
berkata, “Ilmu itu adalah agama, dan shalat itu adalah agama. Maka,
lihatlah dari mana kamu mengambil ilmu ini dan bagaimana kamu shalat
dengan shalat ini, karena kamu akan ditanyai di hari akhirat.” (riwayat
Imam Ad-Dailami).
Perkataan Ibn Umar ini menunjukkan pentingnya sanad keilmuan secara umum, baik dari sudut riwayah maupun dirayah.
Manhaj Islami dalam Ilmu-ilmu Agama
Dr. Yusuf Abdur Rahman dalam muqaddimah tahqiq kita Al-Majma’
Al-Muassis, karya Imam Ibn Hajar, mengatakan, “Adapun di antara segi
terpenting dalam kitab ini adalah berkenaan dengan Manhaj Islami dalam
ilmu-ilmu yang mengikuti manhaj As-Salaf Ash-Shalih, yang terwujud dalam
bentuk talaqqi (menerima secara langsung) ilmu-ilmu dari para ulama,
membaca kitab-kitab di hadapan mereka, mendapatkan ilmu dari mereka dan
mengembara kepada mereka untuk tujuan tersebut, untuk mendapatkan
ketinggian sanad, kejernihan minuman (ilmu), serta keselamatan dari
kesalahan, kepincangan, dan hawa nafsu.”
“Hendaklah seorang penuntut ilmu memilih seorang guru yang ia dapat
membaca kepadanya, yang mana guru tersebut perlu dinilai berdasarkan ia
pernah membaca ilmu tersebut dari guru-gurunya dengan syarat yang
mu’tabar di sisi para ulama. Begitu juga, para gurunya perlu membaca
ilmu tersebut dari guru-guru mereka. Begitulah seterusnya kepada sumber
cahaya ilmu dan petunjuk kemanusiaan, yaitu Rasulullah shalallahu alaihi wassalam.”
“Inilah cara sebenarnya dalam menuntut ilmu. Karena, ilmu itu
diperoleh dengna belajar dan itu tidak diambil melainkan dengan
bertalaqqi dari mulut para ulama dengan menghadiri majelis-majelis ilmu,
bersahabat dengan para ulama, dan sebagainya.” (Muqaddimah Tahqiq bagi
Al-Majma’ Al-Mu’assis).
Dalam tradisi belajar-mengajari di kalangan umat Islam, sanad ilmu
menjadi salah satu unsur utama. Imam Syafi’i berkata, “Tiada ilmu tanpa
sanad.” Pada kesempatan lain, imam madzhab ini menyatakan, “Penuntut
ilmu tanpa sanad bagaikan pencari kayu bakar yang mencari kayu bakar di
tengah malam, yang ia pakai sebagai tali pengikatnya adalah ular berbisa
tetapi ia tak mengetahuinya.” Pernyataan serupa juga dilontarkan
Al-Hafizh Imam Ats-Tsauri, “Sanad adalah senjata orang mukmin. Maka bila
engkau tidak memiliki senjata, dengan apa engkau membela diri?”
Masih banyak lagi pernyataan ulama-ulama terdahulu yang menegaskan
pentingnya sanad dalam ilmu.Bahkan dalam tradisi ahli-ahli hadits, sanad
ilmu merupakan hal yang wajib dimiliki oleh penekun ilmu hadits.Mereka
tidak mengakui suatu hadits dari seseorang kecuali bila orang itu
mempunyai sanadnya yang jelas.
Demikianlah pentingnya sanad ilmu bagi para penekun ilmu-ilmu Islam.
Disiplin ilmu keislaman apa pun, sanadnya akan bermuara kepada Baginda
Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam. Ilmu hadits bermuara kepada beliau, pun demikian dengan ilmu tafsir, tasawuf, dan sebagainya.
Berdasarkan kepentingan sanad keilmuan inilah, para ulama
menghimpunkan sanad-sanad keilmuan mereka tersebut yang merangkum
ilmu-ilmu agama dari sudut riwayah maupun dirayah, dari sudut manqul
(yang dinukilkan) maupun ma’qul (yang dapat dipahami secara akal), dan
sebagainya, dalam kitab-kitab mereka.Sebagian ulama menyusun latar
belakang keilmuan mereka, yaitu sanad keilmuan, dalam bentuk mu’jam
asy-syuyukh, yang menyenaraikan riwayat hidup dan latar belakang
keilmuan para guru mereka.
Sejarah penyusunan nama-nama guru atau syaikh didapati pada kurun
ketiga hijrah, seperti Al-Mu’jam Ash-Shaghir oleh Imam Ath-Thabarani,
lalu terus berkembang seperti Mu’jam Syuyukh Abi Ya’la Al-Mushili dan
lainnya.
Kemudian, sudah menjadi kebiasaan para ulama silam, kita mu’jam
adalah kitab yang menghimpunkan nama-nama guru, kitab fihris adalah
kitab yang menghimpunkan nama-nama kitab (dengan sanad-sanadnya), dan
kitab baramij adalah kitab yang terdiri dari dua bagian, bagian pertama
yang menyenaraikan nama-nama guru dan bagian kedua yang menyenaraikan
nama-nama kitab yang telah di talaqqi dari para ulama. Kemudian, ia
berkembang kepada atsbat, yang menghimpun nama-nama guru dan kitab-kitab
yang dibaca kepada mereka.
Dengan demikian, tradisi sanad adalah suatu intisari yang utama dalam
sistem pembelajaran ilmu agama sejak generasi awal islam. Jadi, setiap
guru yang mengajar ilmu agama kepada murid-muridnya mempunyai latar
belakang keilmuan yang jelas, terutama senarai guru-gurunya yang
mengajarnya ilmu agama tersebut.Begitu juga, guru-gurunya (dari guru
tersebut) juga mempunyai latar belakang keilmuan yang jelas, yaitu
mempunyai guru-guru yang mengajar mereka ilmu agama kepada mereka
juga.Para guru dari guru-guru tersebut juga begitu. Begitulah bersambung
silsilah berguru itu sampai kepada para sahabat, yang mana para sahabat
mengambil ilmu agama dari Rasulullah shalallahu alaihi wassalam.
Inilah gambaran umum konsep sanad dalam tradisi pembelajaran ilmu
agama.Mereka yang mempelajari ilmu-ilmu agama melalui sistem dan tradisi
yang murni ini tidak terlepas dari konsep sanad ini.Ini tidak terpisah
dari tradisi pembelajaran ilmu agama secara murni yang diambil dari
generasi salaf.
Cuma, setelah muncul sistem pembelajaran acuan Barat, ilmu-ilmu agama
diajar dalam bentuk dan acuan Barat di institusi-institusi pendidikan
yang tidak mempunyai sanad keilmuan dalam bidang agama secara
jelas.Maksudnya, para guru atau dosen yang mengajar ilmu-ilmu agama
dalam institusi-institusi tersebut tidak mempunyai latar belakang
keilmuan yang jelas dari para ulama dan tidak mempunyai sanad
keilmuan.Dan karena mereka yang mengajar ilmu-ilmu agama dalam
institusi-institusi tersebut tidak mempunyai sanad keilmuan, akhirnya
murid-murid yang belajar ilmu-ilmu agama di institusi tersebut juga
tidak mempunyai sanad keilmuan.
Bahkan, lebih malang lagi jika seseorang itu mengambil ilmu-ilmu
agama, pemahaman tentang Islam, dan pengakuan keahlian dalam bidang ilmu
agama, dari orang-orang kafir (Orientalis) yang mengajar ilmu-ilmu
agama diinstitusi-institusi tersebut. Dalam ukuran tradisi Islam
sebenarnya, itu tidak sah dan tidak diakui kelayakannya dalam bidang
ilmu keagamaan.
Inilah yang membedakan seorang ulama (alim) yang lahir dari tradiris
pengajian Islam yang asli (bersanad) dengan seorang akademis yang lahir
dari tradisi pengajian Islam versi baru (terutama dengan acuan Barat).
Dari sudut penguasaan ilmu, seorang alim yang lahir dari tradisi
pengajian Islam yang asli dapat menguasai ilmu-ilmu agama secara
menyeluruh, sedangkan seorang akademis yang lahir dari tradisi pengajian
Islam tanpa bersanad hanya menguasai ilmu-ilmua agama secara
terpisah-pisah atau hanya pada aspek tertentu.
Mungkin seorang akademis dapat membicarakan masalah takhrij hadits,
sebab mendalami bidang tersebut di institusi pengajian modern, namun
tidak dapat menjawab persoalan-persoalan mendalam dalam ilmu bahasa
Arab, atau dalam bidang ulum Al-Qur’an dan sebagainya. Inilah yang
dimaksudkan oleh Dr. Ali Jum’ah dalam kitab Al-Madkhal, yaitu, apabila
ilmu agama dikuasai secara terpisah-pisah, ia menjadi sekedar maklumat
(pengetahuan), bukan ilmu menurut ukuran sebenarnya.
Adapun budaya mendalami ilmu-ilmu agama dengan bergurukan kepada buku
semata-mata, tanpa bertalaqqi dengan para ulama mu’tabar untuk
mengambil pemahaman ilmu-ilmu agama, atau sekadar merujuk beberapa
individu yang berbicara tentang agama tanpa latar belakang keilmuan
(sanad keilmuan) yang jelas (ditambah lagi memiliki ijazah tadris/izin
mengajar dari ulama muktabar), akan terlepas dari tradisi keilmuan Islam
yang asli.
Mereka yang mencoba memahami agama sekadar memperbanyak bahan bacaan
tanpa memperbanyak rujukan dari kalangan ulama tidak dinilai sebagai
penuntut ilmu atau ahli ilmu sebagaimana dalam tradisi salaf terdahulu.
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja tidak akan
menemui kesalahannya, karena buku tidak bisa menegur. Sedangkan guru
bisa menegur jika ia salah. Atau jika ia tak paham, ia bisa bertanya.
Tapi kalau berguru hanya kepada buku, jika ia tak paham, ia hanya
terikat dengan pemahamannya dirinya.
Walau demikian, tentu kita boleh membaca buku. Namun kita harus
mempunyai satu guru seperti yang sudah dijelaskan di atas, yang kita
bisa bertanya kepadanya jika kita mendapatkan masalah.
Pemahaman yang Keliru
Dr. Yusuf bin Abdur Rahman dalam bagian lain Muqaddimah Tahqiq kitab
Al-Mu’jam Al-Mu’assis mengatakan, “Jika ilmu diambil dari pemegang
sertifikat-sertifikat formal akademis, bukan dari pemegang ijazah-ijazah
(sanad keilmuan dan ijazah tadris), rendahlah derajatnya, melencenglah
penuntutnya dari kualitas sebenarnya, dan melencenglah ia dari jalan
(tradisi) yang sebenarnya. Maka kembalilah kepada halaqah ilmu dan para
ulama yang memiliki ijazah (sanad) yang otentik sebelum kita mencari
mereka lalu sudah tidak menemui mereka lagi (para ulama yang memegang
sanad ilmu dan ijazah). Kembalilah kepada membaca kitab-kitab di hadapan
para ulama yang mempunyai sanad yang bersambung, agar kita menjadi
pemikul ilmu yang berkualitas, lalu menyampaikannya kepada generasi
kemudian setelah kita. Kalau tidak, terputuslah sanad-sanad, sedangkan
kita sudah menyia-nyiakan ilmu-ilmu kita, dan dengan demikian (karena
terputusnya sanad ilmu) kita (para penuntut ilmu yang menjadi ulama)
bertanggung jawab di hadapan Allah subhanahu wa’taala.”
Ya, kita memang tida boleh mengulangi kesalahan yang telah terjadi
pada kaum Nasrani beberapa waktu setelah Nabi Isa tiada, yang sanad ilmu
agama mereka terputus dari lisan Nabi Isa AS. Kitab suci yang di tangan
mereka telah bercampur dengan akal pikiran mereka sendiri, yang di
dalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan manusia, sehingga mereka
tidak mengenal Rasul Allah yang terakhir, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam.
Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil)
mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Dan
sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal
mereka mengetahui.”(QS Al-Baqarah: 146).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Demi Allah, yang diriku
berada dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah mendengar dari aku ini
seorang pun dari umat sekarang ini, Yahudi maupun Nasrani, kemudian
mereka tidak mau beriman kepadaku, melainkan masuklah ia ke dalam
neraka.”
Kaum Nasrani tidak memiliki sanad ilmu sehingga para rahib atau
pendeta mereka dapat berfatwa berdasarkan apa yang mereka inginkan.
Sehingga mereka memberhalakan akal pikiran mereka sendiri, yang di
dalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan. Allah Azza wa Jalla
berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka
sebagai tuhan-tuhan selain Allah.”(QS Ar-Tawbah: 31).
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “Apakah mereka menyembah
para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai
tuhan-tuhan selain Allah?”, Nabi menjelaskan, “Tidak. Mereka tidak
menyembah para rahib dan pendeta itu; tetapi jika para rahib dan pendeta
itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan
jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka
mengharamkannya.”
Pada riwayat lain disebutkan, Rasulullah bersabda, “Mereka (para
rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang
halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudia mereka (umat
tersebut) mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahan kepada mereka.”
(Riwayat At-Tirmidzi).
Di kalangan umat Islam sendiri, segelintir ulama telah terpengaruh
oleh pihak-pihak yang ingin menghancurkan agama sehingga memahami
Al-Qur’an dan as-sunnah dengan akal pikirannya sendiri, tidak lagi
memperhatikan pendapat-pendapat ulama-ulama terdahulu yang tersambung
sanadnya kepada Rasulullah. Ulama-ulama yang terhasut itu meninggakan
pemahaman imam madzhab yang empat, pemimpin atau imam ijtihad kaum
muslimin pada umumnya (imam mujtahid muthlaq) yang bertalaqqi langsung
dengan as-salafush shalih.Imam madzhab yang empat mengetahui dan
mengikuti pemahaman as-salafush shalih melalui lisan mereka secara
langsung.
Mereka sering menyuarakan slogan-slogan seperti “Mari Kembali kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan Pemahaman Para Salaf”.Selintas terlihat
slogan tersebut benar, namun tidak jelas para salaf (orang-orang
terdahulu) yang mana yang dimaksud, karena salaf (orang-orang terdahulu)
ada yang shalih, tapi ada pula yang tidak shalih, seperti kaum
khawarij.
Contohnya, Abdurrahman bin Muljam adalah seorang yang sangat rajin
beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi
kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Namun dia terpengaruh oleh
hasutan atau ghawuz fikr i(perang pemahaman) orang-orang khawarij, yang
selalu berbicara mengatasnamakan Islam. Sampai akhirnya, dialah yang
ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Ali bin Abi Thalib.
(Sumber: Abbas Firman)